“Apa kriteriamu dek?” begitulah pertanyaan kakakku kala itu.
Sungguh aku sendiri masih bingung kriteria suami seperti apa yang aku idam-idamkan. Aku tidak pernah mempunyai waktu untuk memikirkannya, karena ku pikir umur 23 tahun masih teramat muda untuk memikirkan sebuah pernikahan. Maka aku pun hanya bisa diam.
Itulah pertanyaan kakakku dua tahun lalu. Dan sampailah hari ini pertanyaan itu dilontarkan lagi oleh kakak dengan wajah serius. Aku terdiam beberapa saat memikirkan jawaban yang pas namun hasilnya nihil, aku masih belum punya jawabannya.
“Oh…kakak apakah tidak ada pertanyaan yang lain selain itu?” jawabku.
Alis kakakku terangkat keatas dan keningnya berkerut dengan suksesnya.
“Adek umurmu sekarang sudah 25 tahun sudah saatnya kau memikirkan tentang pernikahan, apalagi yang kau tunggu? Semua teman-teman sebayamu sudah menikah bahkan sudah banyak yang mempunyai anak.”
Aku tertegun sesaat, terbayang olehku beberapa hari lalu aku menjenguk teman-temanku yang mempunyai anggota baru dikeluarganya. Semua pertanyaan yang mereka tujukan kepadaku selalu sama: “Kapan nyusul?”….. Pusing.
“Adek…. Kenapa diam saja?” sedikit kesal kakakku bertanya.
“Kak…. Adek belum mau menikah sekarang.” Jawabku.
“Kenapa dek? Apa yang menyebabkan dirimu belum ingin menikah?” kakakku mulai melunak.
“Adek masih ingin berkarir kak.” Jawabku.
“Adek… Apa hanya karena itu alasannya? Ketahuilah dek yang berkewajiban mencari nafkah itu suami dan rezeki setiap hamba itu Allah SWT lah yang mengatur,” jawab kakakku dengan diplomatis.
Aku diam seribu bahasa bukan karena tidak ada alasan untuk menjawab tapi aku malas untuk berdebat dengan kakakku. Sungguh didasar hatiku saat ini ada keinginan untuk itu tapi aku masih merasa takut untuk menjalaninya. Aku butuh waktu untuk memikirkannya lagi.
###
Dua hari kemudian aku menyerahkan selembar amplop cokelat kepada kakakku, mau tahu isinya apa…..???
Yups… kriteria calon suami idamanku. Kakakku sedikit terkejut melihat apa yang sudah aku lakukan beliau tidak pernah menyangka jika akan secepat itu aku berubah pikiran.
“Apa-apaan ini!” Ujar kakakku.
“Kenapa kak apa ada yang salah dengan calon pilihanku?” terkejut aku menatapnya.
“Adek sebenarnya niat tidak menikah? Kenapa sesulit ini kau memberikan kriteria!” Tajam kakak melihatku.
“Kak maafkan adek, orang seperti itulah yang adek inginkan sebagai pendamping adek kelak,” ucapku.
Hening.
“Baiklah…… Akan kakak usahakan,” akhirnya kakakku menyerah.
###
Sudah enam bulan berlalu sejak percakapan sore itu, belasan amplop berisi biodata ikhwan telah diserahkan kakak kepadaku, namun belum ada satupun yang mengena di hati. Dan lagi-lagi hari ini kakak kembali memberikan amplop cokelat kepadaku.
“Bacalah baik-baik dan istikharahlah,” ujarnya.
Dengan hati berdebar aku membuka amplop cokelat tersebut dan perlahan aku membaca isinya, sempurna!
Apa yang aku inginkan sesuai dengan harapan, akan tetapi aku melupakan satu hal…. Foto…. Ya foto calon pangeranku. Aku bolak balik amplop coklat itu berkali-kali tetapi aku tidak menemukan selembar foto calon pangeranku. Bergegas aku menemui kakak dan menanyakan perihal foto yang tidak ikut serta didalam biodata calon pangeranku.
“Kenapa fotonya tidak ada kak?” tanyaku.
“Tidak perlu fotonya sekarang, yang terpenting saat ini luruskan kembali niatanmu itu, sholatlah dan beritahu kakak hasilnya, ingat dek ini sudah yang kesekian,” jawab kakak.
Dengan lunglai aku meninggalkan kakak, ada yang berkecamuk di hatiku, dalam hati aku berdoa semoga ini yang terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar