Belum bisa tidur juga...... akhirnya otak atik dunya (dunia maya) ^_^
membaca status seorang teman, bagus dan sudah ijin copas, mudah-mudahan bisa jadi pencerahan lagi untuk kita semua ^_*
|
Kenangan di PKRI dulu |
Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini__"
"Ustadz, dulu ana merasa semangat dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya
semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata
ikhwah banyak pula yang aneh-aneh.” Begitu keluh kesah seorang mad’u
kepada murabbinya di suatu malam.
Sang murabbi hanya terdiam,
mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad’unya. “Lalu, apa
yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?” sahut sang
murabbi setelah sesaat termenung.
“Ana ingin berhenti saja, keluar
dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang
justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti, kaku
dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana
mendingan sendiri saja…” jawab mad’u itu.
Sang murabbi termenung
kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya
tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya
sejak awal.
“Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal
mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya
banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau
kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai
pada tujuan?” tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.
Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.
“Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?” sang murabbi mencoba memberi opsi.
“Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari
bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain
dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum
untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana
antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum
mengatasi hawa dingin?” serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan
sang mad’u.
Tak ayal, sang mad’u menangis tersedu. Tak kuasa rasa
hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak,
namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar
yang sesuai dengan keinginannya.
“Akhi, apakah antum masih merasa
bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?”
Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad’u. Ia hanya mengangguk.
“Bagaimana bila temyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan
itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu
tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?” tanya sang murabbi
lagi.
Sang mad’u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, “Cukup ustadz, cukup. Ana sadar.
Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk
mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana
diperhatikan…”
“Biarlah yang lain dengan urusan pribadi
masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan hanya Allah
saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah
segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana”, sang
mad’u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.
Sang
murabbi tersenyum. “Akhi, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka
adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik
kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka
adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah.
Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan
Allah.”
“Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah
hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus
dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata
antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena
di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka.”
“Futur,
mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang
masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan
jalan itu, maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?”
sambungnya panjang lebar.
“Kita bukan sekedar pengamat yang hanya
bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan.
Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah
da’i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah
untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya,
yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.”
“Jangan
sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang
tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang
membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!”
Sang mad’u termenung
merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat.
Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.
“Tapi bagaimana ana
bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?”
sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
“Siapa bilang
kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum?
Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa
menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!” sahut sang murabbi.
“Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran
dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu.
Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah
isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan
segala ghil (dengki, benci, iri hati) antum terhadap saudara antum
sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui
kemuliaannya.”
Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama,
pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan
memecah suasana. Sang mad’u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail
malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad’unya yang lain
dari asyik tidurnya.
Malam itu, sang mad’u menyadari kekhilafannya.
Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi jalan
dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang diharapkan dari
Antum/antunna yang membaca tulisan ini.. Insya Allah kita tetap
istiqamah di jalan dakwah ini.. Dalam samudera tarbiyah ini..
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Al-Izzah, No. 07/Th.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar